TITIK
Banyak orang yang tinggal di sini,
di sebuah titik yang tidak pernah ingin mereka tinggalkan. Entah mengapa mereka
ada di situ sementara mungkin orang lain pun sibuk di titik-titik tempat mereka
berdiri. Aku pun tidak pernah beranjak dari sini, setidaknya hingga saat ini.
Stagnan. Pikiran dalam diri yang selalu mempetak-petakkan masing-masing diri
untuk membentengi hati. Terdiam disini, aku menjadi teringat akan penggalan
puisi yang sempat aku tulis beberapa waktu yang lalu.
“Duniaku adalah benteng yang tak terjamah
Tak ada yang tahu keberadaannya
Tak ada yang ingin tahu sesuatu yang ada dibaliknya
Tak akan ada yang mengerti kehidupan didalamnya.”
Mungkin itu adalah pembahasaan atas
apa yang terjadi dalam diri. Frustasi akan semua yang terjadi. Begitu
pesimistis. Jika mereka tidak mengerti, aku pun demikian. Aku tidak pernah
mengerti pembicaraan orang-orang yang selalu riuh mengoceh ditengah banyaknya
ocehan yang memekakkan telinga. Aku tak pernah mengerti apa yang ada dalam pikiran mereka. Pemikiran yang hanya
bisa membuat aku pusing. Semua ini terjadi karena itu terlahir dari prasangka-prasangka yang selalu muncul di
permukaan saat fakta menyeruak dan menutupi fakta-fakta tersirat.
Tapi setidaknya aku beruntung masih
memiliki duniaku, meski tak ada satu orang pun yang tahu. Aku masih bisa
merasakan kebebasan disana. Kebebasan untuk mengekspresikan diri dan berkreasi
di alam fantasi yang aku ciptakan sendiri di tengah belenggu yang ada di
sekelilingku.
Aku merasa sudah saatnya kita
berbicara dengan lantang untuk meruntuhkan segala prasangka yang selama ini
mengikat kita pada pemikiran masing-masing. Memberitakan kepada semua orang
tentang diri kita. Jangan biarkan mereka untuk terus memakan daging saudaranya
sendiri karena ketidak tahuan mereka. Tapi apa yang harus dibicarakan? Hati ini
pun kembali melontarkan pertanyaan konyol namun tetap sulit untuk dijawab
karena telah begitu banyak suara-suara yang telah dibuat hening dan segala
hasrat yang dipenjarakan oleh aturan-aturan manusia yang tak mampu menata.
Semuanya hanya bisa bercokol dalam hati dan membusuk menjadi penyakit.
Menorehkan titik-titik hitam yang kian hari kian bertambah.
Di bawah langit kelam yang
menghalangi munculnya bintang-bintang bercahaya terang ditambah terpaan angin
yang menambah perih luka di batinku dan menghempaskan aku pada titik ini,
biarkan aku dan pikiranku terbang melayang. Mengenang kembali
peristiwa-peristiwa yang telah membuat aku dan orang-orang di sekelilingku
sampai ke titik ini.
Jika pada zaman sebelum revolusi mau
pun reformasi, para kaula muda saat itu dengan gigih memperjuangkan hak mereka
untuk bersuara telah berhasil membuat kita yang sekarang dapat dengan leluasa menyuarakan aspirasi kita
meski pun terkadang hanya sekedar mengungkapkan kata-kata tak bermakna yang
hanya membuat orang-orang resah, kini kita hanya bisa menodai hasil perjuangan
mereka dengan kebobrokan mental kita. Apakah kata-kata tanpa makna yang terlontar
dari mulut-mulut kaum yang kata orang-orang adalah kaum berpendidikan seperti
sekarang adalah suara yang diharapkan para senior-senior kita? Aku rasa
jawabannya tidak. Seharusnya lontaran kata-kata itu menjadi suara perjuangan
dan pembelaan atas kaum-kaum yang terinjak, kaum-kaum yang terjepit di antara
kubu-kubu yang saling serang karena dibutakan oleh kekuasaan. Golongan yang
memperjuangkan eksistensi bangsa ini pun bukan lagi untuk kesejahteraan bangsa
namun untuk merauk keuntungan pribadi.
Sungguh sayang, para senior-seniorku tidak dapat merasakan buah dari hasil
perjuangan mereka. Mereka bagaikan petani yang menanam begitu banyak tanaman di
ladang luas, namun dengan rela memberikan buahnya kepada orang-orang bodoh yang
hanya mampu menikmati buahnya dan mengenyangkan perut sendiri.
Jika kita menarik lagi lebih jauh
sejarah kita, pada zaman perjuangan kemerdekaan, para pemuda bangsa ini bersatu
hati menghendaki persatuan, kini di tangan kita persatuan itu hanya menjadi
sebuah klise hitam yang tidak dapat di cetak menjadi gambaran indah yang penuh
warna dan kegembiraan.
Tanah
air kita yang dulu subur dan membuat setiap orang nyaman berpijak di atasnya,
kini menjadi penuh dengan lumpur kotor yang menjijikkan.
Bangsa
kita yang dulu begitu disegani dan gagah berdiri di muka, kini harus menanggung
malu seperti pecundang yang mundur dari medan perang dan hanya bisa bersembunyi
dibalik tembok dan mengintip lewat jendela, menonton kemajuan dunia yang begitu
pesat. Seperti bebek yang tidak bisa terbang mengepakkan sayapnya meski ia
memiliki sayap layaknya burung-burung yang senantiasa melanglang buana di
langit. Ia hanya bisa mengekor.
Bahasa
yang menjadi aset bangsa ini pun mulai terancam eksistensinya. Ketika sekarang
anak bangsa akan lebih merasa bangga ketika mereka mampu berbahasa asing dengan
lancar sedangkan ia akan tertidur lelap di kelas-kelas mereka dan merasa jemu
dengan pembahasan sastra dan bahasa bangsa ini.Tidak banyak lagi orang-orang
yang mampu berkomunikasi dengan bahasa yang baik. Kata-kata yang terlontar dari
mulut mereka hanyalah kata-kata yang terdengar begitu sentimentil, pesimistis
bahkan bahasa hanyalah komponen dalam kalimat-kalimat yang digunakan sebagai
alat untuk menorehkan luka.
Untaian cerita-cerita pesimistis ini
harus segera diakhiri. Bukan untuk suatu kebinasaan. Namun untuk kembali
memulai cerita baru yang lebih indah. Cerita yang akan mengobati lara dan
menyembuhkan luka. Memperbaiki segala kesalahan dan mengembalikan segala
ketidak sesuaian pada tempatnya. Berbenah diri untuk menyongsong masa-masa
kejayaan yang akan menjelang bukanlah suatu kemustahilan, melainkan sebuah
keniscayaan.
Dalam
cerita akan ada kalimat-kalimat yang diakhiri oleh titik. Bukan berarti cerita
itu telah usai. Melainkan sang penulis hendak memulai menuliskan kembali
cerita-cerita lain yang lebih berwarna. Seperti saat ini, baru saja aku
memutuskan untuk mengakhiri mengenang sejarah dan mengingat betapa payahnya
generasi yang sedang memimpin sekarang di tengah gelap gulitanya malam, muncul
setitik cahaya terang di hadapanku yang semakin lama titik itu semakin besar
dan terang. Mentari. Sosok yang selalu menyapa kita di pagi hari. Menandakan
akan adanya harapan di hari ini dan seterusnya.
Bogor, 9 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment