03 April 2014

TITIK

TITIK

            Banyak orang yang tinggal di sini, di sebuah titik yang tidak pernah ingin mereka tinggalkan. Entah mengapa mereka ada di situ sementara mungkin orang lain pun sibuk di titik-titik tempat mereka berdiri. Aku pun tidak pernah beranjak dari sini, setidaknya hingga saat ini. Stagnan. Pikiran dalam diri yang selalu mempetak-petakkan masing-masing diri untuk membentengi hati. Terdiam disini, aku menjadi teringat akan penggalan puisi yang sempat aku tulis beberapa waktu yang lalu.

“Duniaku adalah benteng yang tak terjamah
Tak ada yang tahu keberadaannya
Tak ada yang ingin tahu sesuatu yang ada dibaliknya
Tak akan ada yang mengerti kehidupan didalamnya.”

            Mungkin itu adalah pembahasaan atas apa yang terjadi dalam diri. Frustasi akan semua yang terjadi. Begitu pesimistis. Jika mereka tidak mengerti, aku pun demikian. Aku tidak pernah mengerti pembicaraan orang-orang yang selalu riuh mengoceh ditengah banyaknya ocehan yang memekakkan telinga. Aku tak pernah mengerti apa yang ada  dalam pikiran mereka. Pemikiran yang hanya bisa membuat aku pusing. Semua ini terjadi karena itu terlahir dari  prasangka-prasangka yang selalu muncul di permukaan saat fakta menyeruak dan menutupi fakta-fakta tersirat.
            Tapi setidaknya aku beruntung masih memiliki duniaku, meski tak ada satu orang pun yang tahu. Aku masih bisa merasakan kebebasan disana. Kebebasan untuk mengekspresikan diri dan berkreasi di alam fantasi yang aku ciptakan sendiri di tengah belenggu yang ada di sekelilingku.
            Aku merasa sudah saatnya kita berbicara dengan lantang untuk meruntuhkan segala prasangka yang selama ini mengikat kita pada pemikiran masing-masing. Memberitakan kepada semua orang tentang diri kita. Jangan biarkan mereka untuk terus memakan daging saudaranya sendiri karena ketidak tahuan mereka. Tapi apa yang harus dibicarakan? Hati ini pun kembali melontarkan pertanyaan konyol namun tetap sulit untuk dijawab karena telah begitu banyak suara-suara yang telah dibuat hening dan segala hasrat yang dipenjarakan oleh aturan-aturan manusia yang tak mampu menata. Semuanya hanya bisa bercokol dalam hati dan membusuk menjadi penyakit. Menorehkan titik-titik hitam yang kian hari kian bertambah.
            Di bawah langit kelam yang menghalangi munculnya bintang-bintang bercahaya terang ditambah terpaan angin yang menambah perih luka di batinku dan menghempaskan aku pada titik ini, biarkan aku dan pikiranku terbang melayang. Mengenang kembali peristiwa-peristiwa yang telah membuat aku dan orang-orang di sekelilingku sampai ke titik ini.
            Jika pada zaman sebelum revolusi mau pun reformasi, para kaula muda saat itu dengan gigih memperjuangkan hak mereka untuk bersuara telah berhasil membuat kita yang sekarang dapat  dengan leluasa menyuarakan aspirasi kita meski pun terkadang hanya sekedar mengungkapkan kata-kata tak bermakna yang hanya membuat orang-orang resah, kini kita hanya bisa menodai hasil perjuangan mereka dengan kebobrokan mental kita. Apakah kata-kata tanpa makna yang terlontar dari mulut-mulut kaum yang kata orang-orang adalah kaum berpendidikan seperti sekarang adalah suara yang diharapkan para senior-senior kita? Aku rasa jawabannya tidak. Seharusnya lontaran kata-kata itu menjadi suara perjuangan dan pembelaan atas kaum-kaum yang terinjak, kaum-kaum yang terjepit di antara kubu-kubu yang saling serang karena dibutakan oleh kekuasaan. Golongan yang memperjuangkan eksistensi bangsa ini pun bukan lagi untuk kesejahteraan bangsa namun untuk merauk keuntungan  pribadi. Sungguh sayang, para senior-seniorku tidak dapat merasakan buah dari hasil perjuangan mereka. Mereka bagaikan petani yang menanam begitu banyak tanaman di ladang luas, namun dengan rela memberikan buahnya kepada orang-orang bodoh yang hanya mampu menikmati buahnya dan mengenyangkan perut sendiri.
            Jika kita menarik lagi lebih jauh sejarah kita, pada zaman perjuangan kemerdekaan, para pemuda bangsa ini bersatu hati menghendaki persatuan, kini di tangan kita persatuan itu hanya menjadi sebuah klise hitam yang tidak dapat di cetak menjadi gambaran indah yang penuh warna dan kegembiraan.
Tanah air kita yang dulu subur dan membuat setiap orang nyaman berpijak di atasnya, kini menjadi penuh dengan lumpur kotor yang menjijikkan.
Bangsa kita yang dulu begitu disegani dan gagah berdiri di muka, kini harus menanggung malu seperti pecundang yang mundur dari medan perang dan hanya bisa bersembunyi dibalik tembok dan mengintip lewat jendela, menonton kemajuan dunia yang begitu pesat. Seperti bebek yang tidak bisa terbang mengepakkan sayapnya meski ia memiliki sayap layaknya burung-burung yang senantiasa melanglang buana di langit. Ia hanya bisa mengekor.
Bahasa yang menjadi aset bangsa ini pun mulai terancam eksistensinya. Ketika sekarang anak bangsa akan lebih merasa bangga ketika mereka mampu berbahasa asing dengan lancar sedangkan ia akan tertidur lelap di kelas-kelas mereka dan merasa jemu dengan pembahasan sastra dan bahasa bangsa ini.Tidak banyak lagi orang-orang yang mampu berkomunikasi dengan bahasa yang baik. Kata-kata yang terlontar dari mulut mereka hanyalah kata-kata yang terdengar begitu sentimentil, pesimistis bahkan bahasa hanyalah komponen dalam kalimat-kalimat yang digunakan sebagai alat untuk menorehkan luka.
            Untaian cerita-cerita pesimistis ini harus segera diakhiri. Bukan untuk suatu kebinasaan. Namun untuk kembali memulai cerita baru yang lebih indah. Cerita yang akan mengobati lara dan menyembuhkan luka. Memperbaiki segala kesalahan dan mengembalikan segala ketidak sesuaian pada tempatnya. Berbenah diri untuk menyongsong masa-masa kejayaan yang akan menjelang bukanlah suatu kemustahilan, melainkan sebuah keniscayaan.
Dalam cerita akan ada kalimat-kalimat yang diakhiri oleh titik. Bukan berarti cerita itu telah usai. Melainkan sang penulis hendak memulai menuliskan kembali cerita-cerita lain yang lebih berwarna. Seperti saat ini, baru saja aku memutuskan untuk mengakhiri mengenang sejarah dan mengingat betapa payahnya generasi yang sedang memimpin sekarang di tengah gelap gulitanya malam, muncul setitik cahaya terang di hadapanku yang semakin lama titik itu semakin besar dan terang. Mentari. Sosok yang selalu menyapa kita di pagi hari. Menandakan akan adanya harapan di hari ini dan seterusnya.



Bogor, 9 Oktober 2011

No comments:

Post a Comment